Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Hari ini, 31 Januari 2020, adalah hari ulang tahun pendiriannya yang ke-94 tahun. Sebelum 31 Januari 1926, nama NU oleh KH. Hasyim Asy’ari disebut kumpulan para ulama; Jam’iyyah Ulama.
Setelah NU berusia hampir satu abad, banyak prestasi yang ditorehkan untuk bangsa ini. Pertama, NU turut serta dan aktif dalam usaha kemerdekaan dan mempertahankannya. Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 yang mendorong perjuangan fi sabilillah di Surabaya dan sekitarnya adalah salah satu bukti kontribusi nyatanya.
Kedua, NU terlibat dan turut mencerdaskan anak bangsa. Pendidikan ala NU yang dulu identik dengan pesantren tradisional, yang kolot dan anti kemajuan, sekarang berubah menjadi pesantren-pesantren berbasis sekolah yang berprestasi. Dampak dari pendidikan ini tidak saja membuat kader NU mahir dalam penguasaan kitab kuning, tapi juga tak ketinggalan dengan sains (ilmu pengetahuan), sehingga jarak NU dan Muhammadiyah dalam pendidikan formal tidak terlalu jauh.
Belakangan, NU juga gencar mendirikan perguruan tinggi UNU (Universitas Nahdlatul Ulama) di sejumlah wilayah seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Cirebon, dan lain sebagainya. Tentu ini membuat kader NU bisa diandalkan untuk menghadapi tantangan global. Selain itu, belakangan, kader NU begitu banyak melanjutkan pendidikan tingginya di dalam maupun di luar negeri.
Ketiga, di bidang sosial. Tak dipungkiri, NU telah berhasil mendirikan beberapa rumah sakit di beberapa wilayah. Bahkan, rumah sakit NU yang didirikan di Kabupaten Kulonprogo dengan cara yang luar biasa, yaitu dari kumpulan uang koin (recehan) para Nahdliyyin.
Keempat, di bidang ekonomi. Lahirnya Koperasi NU, Minimarket NU, Badan Usaha Mikro NU, BMT dan lebih-lebih keberadaan LAZIZ NU sudah dirasakan manfaatnya oleh segenap masyarakat, khususnya Nahdliyyin. Belakangan, salah satu prestasi LAZIZ NU (NU Care) adalah membebaskan salah satu tenaga kerja wanita yang ada di Arab Saudi, dengan menyediakan uang tebusan dengan jumlah fantastis. Uang itu lagi-lagi dihimpun dari jejaring koin jam’iyyah NU.
Pencapaian-pencapaian tersebut bukan tanpa masalah. Salah satu masalah serius adalah banyak kader NU kesulitan menembus posisi strategis dalam pemerintah untuk menderma-baktikan SDM-nya. Apalagi belakangan, ada kesan kebijakan pemerintah, regulasinya belum berpihak kepada NU, terutama soal permodalan. Karenanya dibutuhkan grand design besar untuk berkontribusi di segala bidang.
Lemahnya NU di bidang politik ini menjadi permasalahan serius. NU lebih dikesankan sebagai pendorong mobil mogok. Suaranya hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis, tetapi setelah itu ditinggalkan. Padahal NU secara praktis punya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang bisa menjadi saluran politik. Karenanya, ke depan, NU dan PKB perlu saling bekerja sama. Di satu sisi, PKB lahir dari NU. Di sisi lain, NU hanya punya PKB sebagai saluran aspirasi politik praktis.
Jika PKB menjadi pemenang Pemilu, dan Pilkada tahun ini, tentu NU akan memimpin dan berpeluang mengubah semua regulasi yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat umumnya dan terutama warga Nahdliyyin. Namun, hingga detik ini, voters PKB tidak mencerminkan besarnya jamaah Nahdliyyin. Ini suatu pertanyaan serius tentang komitmen Nahdliyyin dalam bidang politik.
Pentingnya integrasi politis antara PKB dan NU di masa depan adalah keharusan. Pertama, kolaborasi ini diharapkan mampu menjadi penantang baru bagi partai-partai berideologi nasionalis di luar aspirasi NU. Kedua, hanya melalui PKB, NU dapat memiliki akses kekuasaan lebih leluasa. Karenanya, duet PKB-NU merupakan keniscayaan di masa-masa sulit yang akan datang.
Ketiga, berdasarkan jejak sejarah, terutama melihat hasil pemilu 1955, partisan politik praktis warga Nahdliyin cukup menjanjikan. Saat itu PNI (kini metamorfosa menjadi PDIP) mendapat 22 %, Masyumi 20 %, Partai NU 18 %, ini menunjukkan partai representasi NU mendapatkan suara terbanyak ketiga dan cukup signifikan, padahal saat itu kesadaran warga Nahdliyin terhadap politik masih sangat lemah, SDM politisi masih kurang dan infratrukstur masih minim, tentu ini bisa dibandingkan dengan Pemilu belakangan, misalnya pada tahun 2019, PKB hanya mendapatkan 10 %.
Jadi hemat penulis, PKB adalah adalah NU dalam politik dan NU adalah PKB dalam perjuangan diranah estafet kepemimpinan. Jika warga NU semuanya sadar akan hal ini dan bersatu kembali ke rumahnya yang telah dibangun dengan susah payah, niscaya rumah tersebut menjadi rumah yang terbesar diantara rumah-rumah yang lain. Bahkan peluang mendapatkan suara lebih dari 18 % seperti tahun 1955 sangat besar. Tetapi sangat disayangkan, sampai sekarang ini warga NU masih banyak berceceran tinggal di rumah-rumah orang lain. Jika warga NU tidak segera merapatkan barisan kembali ke rumahnya, maka sampai kapanpun NU selalu menjadi ma’mum.
Keempat, kondisi yang dialami oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akan mempengaruhi pencitraan masyarakat terhadap NU karena partai ini dilahirkan dari rahim NU. Meskipun secara organisatoris sudah independen dan NU menyatakan diri ke khittah 1926, NU tetap menginginkan PKB kuat. Namun harus diakui, dalam prakteknya hubungan antara PKB dengan NU sering mengalami kendala. Padahal nyata, ketika didirikan oleh NU, PKB bisa dikatakan sebagai sayap politik NU, tetapi situasi ini, tak dipungkiri perlahan mulai berubah. Tidak jarang komunikasi dengan NU hanya dapat dikatakan sebagai komunikasi antar pribadi saja.
Karena itu, semua pihak perlu duduk bersama dan perkuat komunikasi demi kepentingan yang lebih besar. Apalagi saat ini warga Nahdliyin mengalami kekecewaan pada periode kedua pemerintahan Jokowi yang meninggalkan NU. Maka inilah momentum NU memobilisasi dan menjadikan aset besar untuk mengubah peta politik nasional di masa yang akan datang.
Kendala lain yang sangat delematis adalah, kebanyakan Nahdliyin masih belum bisa mendudukkan dengan jernih dimana seharusnya posisi PKB berada dan dimana letak amanah Khittah NU 1984. Perkembangan yang terjadi belakangan, sebagian ada yang menganggap Nahdliyin sudah konsisten dengan khittah NU dimana PKB tidak ada hubungan struktural dengan NU dan warga NU bebas memilih partai apa saja. Banyak yang mengartikan khittah dengan pengertian bahwa warga NU bebas dalam berpartai dan NU tidak kemana-mana, tapi ada dimana-mana. Kata-kata seperti itu sudah kesiangan.
Penulis lebih setuju jika arti khittah dimaknai sebagai keputusan muktamar tahun 1984 di Situbondo Jawa Timur, bahwa NU keluar dari partai politik praktis, NU kembali sebagaimana NU 1926. Setelah keluar dari partai politik dan belum sempat mendirikan partai politik utuk warganya, maka dengan sangat terpaksa warga NU berada dimana-mana, logikanya apakah orang akan masih terus ngontrak di rumah orang lain? Sedangkan sekarang sudah punya rumah sendiri. Kalau NU membiarkan warganya kemana-mana, kenapa susah-susah membuat rumah?
Cara pandang praktis seperti di atas penting dan perlu. Jadi menurut hemat penulis, tafsir Khittah ini mendesak diinterprestasi pada Muktamar Lampung mendatang. Karena jika mereka menempatkan pada posisi yang salah, ini justru bisa membenamkan NU dalam kancah politik nasional dan akan merugikan warga Nahdliyin, baik di bidang pendidikan, sosial dan ekonomi. Karena hari ini kita sadar, cita-cita kesejahteraan sosial, puncaknya ada di lingkaran kekuasaan.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
إرسال تعليق