'Lockdown' Kota Malang, Walkot Dinilai Langgar UU Kekarantinaan Kesehatan
![]() |
Sutiaji (Muhammad Aminudin/detikcom) |
Jakarta - Wali Kota Malang, Jawa Timur, Sutiaji akan melakukan 'lockdown' dengan menutup akses masuk dan keluar Kota Malang.
Hal ini dinilai nyata-nyata melanggar UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
"Pada dasarnya merupakan tindakan melampaui wewenang. Hal ini dikarenakan tindakan melakukan karantina wilayah (lockdown) menurut UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan bukan merupakan kewenangan kepala daerah, melainkan kewenangan pemerintah pusat, yaitu ditetapkan oleh Menteri Kesehatan," kata ahli hukum Bayu Dwi Anggono saat berbincang dengan detikcom, Senin (16/3/2020).
Menurut Bayu, ketentuan dalam UU 6/2018 sudah sangat terang benderang mengatur jenis karantina, persyaratan untuk dapat dilakukannya karantina wilayah. Kemudian siapa pejabat yang berwenang memutuskan karantina wilayah dan kewajiban pemerintah selama masa karantina wilayah.
"Ketentuan yang sudah terang benderang itu harusnya dengan mudah dapat dipahami oleh kepala daerah yang notabene masuk kategori orang yang memiliki kemampuan dapat membaca isi UU," cetus Bayu.
Pasal 49 UU sudah terang mengatur:
(1) Dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau pembatasan Sosial Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan.
(2) Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.
(3) Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
"UU memang mengatur dapat dilakukannya karantina wilayah (lockdown) namun patut diingat bahwa harus dilakukan berdasarkan pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan," papar Bayu.
Bayu mengatakan pada dasarnya bisa saja kepala daerah setelah menggunakan pertimbangan-pertimbangan tersebut merasa perlu melakukan karantina wilayah
. Namun, kata dia, harus dicatat bahwa kepala daerah sebatas mengusulkan kepada Menteri Kesehatan dan Menteri Kesehatan-lah yang akan mengambil keputusan.
"Setelah menimbang dengan obyektif apakah pertimbangan yang dibuat kepala daerah memang benar adanya," cetus Bayu.
UU sengaja mengatur kewenangan melakukan karantina wilayah sebagai kewenangan pemerintah pusat karena ketentuan Pasal 51 UU 6/2018 tegas menyebutkan bahwa:
"Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Karena kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar orang dan makanan hewan yang wilayahnya di karantina merupakan kewajiban pemerintah pusat maka diaturlah bahwa kewenangan menetapkan karantina wilayah (lockdown) menjadi kewenangan pemerintah pusat."
"Patut diingat garis komando, kepastian hukum, dan keteraturan antartingkatan pemerintahan merupakan modal dasar keberhasilan menanggulangi bencana termasuk bencana non alam akibat wabah penyakit," ujar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.
"Untuk itu, dalam rangka menegakkan prinsip garis komando, keteraturan, dan kepastian hukum, maka pemerintah pusat wajib memberikan teguran kepada Wali Kota Malang sebagai bagian dari pemerintah RI agar dalam melakukan tindakan penanggulangan bencana ini tetap dalam satu garis komando dan menaati tertib pemerintahan agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran dan ketidakpastian dalam penyelenggaraan pemerintahan," sambung Bayu menyudahi perbincangan.
Source by : bangka.tribunnews.com
Posting Komentar