Belum Ada Obatnya, Ini Cara Tim Medis Sembuhkan Pasien Virus Corona
![]() |
Simulasi penanganan pasien virus corona di RSUD Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro. pada Jumat (06/3). Foto: Dok. Pemkab Bojonegoro |
Virus corona menginfeksi balita hingga lansia, ia merambah dari Asia hingga ke berbagai benua, tak terkecuali Afrika.
Muncul pertama kali pada penghujung tahun 2019, virus corona COVID-19 telah menelan korban jiwa sebanyak 6.504 orang dari 160.000 lebih orang yang terjangkit.
WHO berulang kali menegaskan belum ada vaksin dan obat khusus untuk menyembuhkan COVID-19. Namun itu tak berarti virus corona selalu berujung pada kematian. Tercatat sudah ada 76.802 yang dinyatakan pulih dari COVID-19.
Ilmuwan dunia telah bergerak menciptakan vaksin untuk SARS-CoV-2. Di sisi lain, tim dokter di berbagai belahan dunia yang merawat pasien COVID-19 juga terus berupaya melakukan tindakan medis yang tepat demi menyembuhkan pasien mereka.
Obati gejalanya Perawatan yang diberikan pada dasarnya sama dengan ketika pasien menderita influenza atau penyakit pernapasan akut. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat menyebutnya sebagai tindakan atau perawatan suportif.
Prinsipnya begini, dokter hanya mengobati gejala yang kerap muncul pada kasus COVID-19. Gejala pada pasien virus corona yang seringkali dijumpai pada pasien mencakup demam, batuk, dan sesak napas.
![]() |
Personel Satgas Mobile COVID-19 membawa pasien diduga terjangkit virus Corona (COVID-19) di Rumah Sakit Suradadi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (11/3). Foto: ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah |
Secara lebih rinci, berikut adalah beberapa gejala klinis yang umum diderita para pasien positif corona menurut WHO:
- Demam di atas 38 derajat Celcius
- Batuk kering
- Sesak napas
- Kelelahan
- Beberapa pasien juga dilaporkan mengalami sakit dan nyeri
- Hidung tersumbat
- Pilek
- Sakit tenggorokan
- Diare
Infeksi yang menyebabkan pneumonia Sindrom pernapasan akut. Gejala lanjutan jika sudah parah atau jika ada riwayat penyakit komplikasi, bisa mengarah ke gagal ginjal
Pada pasien dengan kasus ringan, dokter biasanya menyarankan agar pasien mendapatkan istirahat yang cukup. Jika suhu tubuh tinggi, pasien akan diberikan obat penurun demam seperti acetaminophen (Tylenol) untuk meredakannya.
Kasus ringan COVID-19 juga pernah menimpa Elizabeth Schneider, seorang penyintas asal Amerika Serikat. Kala itu, Schneider mengalami gejala klinis seperti sakit kepala, demam dan menggigil di sekujur tubuhnya. Sebelum memeriksakan diri ke dokter, Schneider berinisiatif untuk meminum obat-obatan yang berkhasiat meredakan flu.
Schneider termasuk pasien positif corona dengan gejala relatif ringan sehingga oleh otoritas kesehatan setempat, ia hanya diminta menjalani karantina secara mandiri di rumah setidaknya selama sepekan setelah timbulnya gejala atau 72 jam setelah gejala mereda.
![]() |
Elizabeth Schneider pulih dari COVID-19 usai menjalani karantina di rumah. Foto: AFP |
Kondisi wanita 37 tahun itu kemudian membaik dan dinyatakan pulih setelah seminggu menjalani karantina mandiri. Meski begitu, Schneider memutuskan untuk tetap bekerja dari rumah dan menghindari aktivitas yang melibatkan banyak orang demi mencegah kemungkinan terburuk.
Pada kasus COVID-19 lainnya, dokter dan perawat akan menggunakan obat antivirus oseltamivir atau Tamiflu untuk menangani pasien positif virus corona. Dalam beberapa kasus, obat tersebut diyakini mampu menekan reproduksi virus.
Hal ini lumayan mengejutkan Ebenezer Tumban sebagai ahli virologi dari Michigan Technological University. Kepada Live Science, Tumban menyebut Tamiflu biasanya diresepkan oleh dokter untuk membunuh virus influenza, bukan virus corona.
Menurut pengakuan Hyun Park, pasien COVID-19 dari Korea Selatan yang telah dinyatakan pulih, tim dokter memberikannya obat yang berbeda-beda selama perawatan. Hal ini karena belum ada vaksin atau obat untuk melawan SARS-CoV-2.
Obat-obatan tersebut untuk menyembuhkan gejala klinis yang dialami Hyun seperti sakit tenggorokan, batuk kering hingga sesak di dada. Obat-obatan yang dikonsumsinya, kata Hyun, memiliki efek samping yang menyakitkan.
Dokter yang menanganinya pun terus melakukan pemantauan demi memastikan apakah tubuh Hyun bisa menyesuaikan dengan obat-obatan tersebut atau tidak.
Hyun berhenti mengonsumsi obat di hari ke-8, hasil tes menunjukkan bahwa pria itu negatif virus corona alias sudah sembuh.
![]() |
Hyun Park, pasien virus corona yang berhasil sembuh. Foto: Hyun Park/Facebook |
National Institutes of Health AS sebelumnya juga telah memulai uji klinis antivirus remdesivir di Pusat Medis Universitas Nebraska yang digunakan untuk mengatasi COVID-19.
Upaya lainnya yang sudah dilakukan para tenaga medis di China yakni dengan menguji serangkaian antivirus lain yang semula dirancang untuk mengobati Ebola dan HIV.
Bagi pasien dengan kasus pneumonia yang menghambat pernapasan, pengobatan akan melibatkan ventilasi dengan oksigen. Ventilator mengembuskan udara ke paru-paru melalui tabung yang dimasukkan langsung ke tenggorokan.
Sebuah studi New England Journal of Medicine yang dilakukan terhadap 1.099 pasien COVID-19 yang menjalani rawat inap di China menemukan bahwa 41,3 persen pasien membutuhkan oksigen tambahan dan 2,3 persen membutuhkan ventilasi mekanik invasif.
Glukokortikoid diberikan kepada 18,6 persen pasien, yakni pengobatan yang sering digunakan untuk mengurangi peradangan dan membantu membuka saluran udara selama penyakit pernapasan menimpa pasien.
Pengembangan vaksin terus diupayakan
Hilary Marston, seorang petugas medis dan penasihat kebijakan di Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID), mengatakan dalam Harvard T.H. Webcast Chan School of Public Health, bahwa para ilmuwan kini sedang bekerja keras untuk mengembangkan vaksin.
Pada 14 Maret, dokter di Seattle merekrut sukarelawan untuk berpartisipasi dalam uji klinis vaksin eksperimental untuk COVID-19 yang sedang dikembangkan oleh perusahaan bioteknologi Moderna Therapeutics. Namun, ahli etika biomedis khawatir bahwa langkah kritis dalam pengembangan vaksin dilewati.
![]() |
Ilustrasi vaksin. Foto: Shutterstock |
Untuk mempercepat jalur vaksin, para peneliti awalnya tidak menunjukkan bahwa vaksin itu memicu respons kekebalan pada hewan, suatu langkah yang biasanya diperlukan sebelum pengujian pada manusia.
Para peneliti mulai menguji vaksin eksperimental pada tikus percobaan di hari yang sama ketika mereka mulai merekrut orang untuk uji klinis. Tikus-tikus itu memang menunjukkan respons kekebalan yang mirip dengan yang dipicu oleh vaksin eksperimental untuk virus corona MERS-CoV. Vaksin bekerja dengan mengatur sistem kekebalan tubuh Anda untuk mengenali virus seperti SARS-CoV-2 sebagai musuh dan melakukan serangan terhadapnya.
Meski begitu, dokter tidak yakin seberapa cepat "pelacakan cepat" ini akan mempercepat waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan membawa vaksin semacam itu ke publik.
Sebelum vaksin eksperimental ini bekerja, Marston mengatakan jangan mengharapkan adanya vaksin virus corona dalam waktu dekat.
"Jika semuanya bergerak secepat mungkin, hal tercepat yang mungkin terjadi adalah sekitar satu setengah sampai dua tahun," kata Marston.
Source By : Kumparan.com
Posting Komentar